Chevron (di bursa saham New York tercatat dengan
inisial 'CVX') adalah salah satu perusahaan raksasa minyak dunia yang
beroperasi di 180 negara, mempekerjakan sekitar 62.000 karyawan. Dengan
nilai pendapatan tahunan sampai US$ 253,7 milyar (tahun 2011), Chevron
tercatat sebagai salah satu dari lima perusahaan terbesar di Amerika
Serikat dan menduduki perigkat 16 terbesar di dunia menurut Forbes
Global 2000. Cikal-bakalnya adalah Standard Oil of California --salah
satu cabang raksasa Standard Oil yang diharuskan memecah diri oleh
pengadilan Amerika Serikat sesuai dengan Undang-undang anti monopoli (Sherman Anti-Trust Act)
pada tahun 1911. Bergabung dengan Gulf Oil, maka secara resmi
terbentuklah Chevron pada tahun 1984. Tahun 2001, mereka mengambil-alih
Texaco.
Sebagaimana umumnya perusahaan minyak, Chevron juga memiliki
rekam-jejak kelam dalam sejarahnya, mulai dari 'Skandal Mobil Terbesar
Amerika' (Great American Streetcar Scandal) pada tahun 1950an
sampai berbagai kasus pencemaran lingkungan hidup, baik di Amerika
Serikat sendiri maupun di berberapa negara lain. Kasus-kasus besar yang
tercatat antara lain pencemaran lingkungan di Richmond, California
(1998), pencemaran oleh kilang El Segundo, juga di California (2003),
perusakan dan kebakaran besar hutan di kawasan Taman Nasional Lawachara,
Bangladesh (2008), dan pencemaran laut akibat genangan kebocoran minyak
di lepas-pantai Rio de Janeiro, Brazil (2011).Beberapa dari kasus
tersebut tidak hanya menyangkut soal lingkungan semata, tetapi juga
mengandung unsur pelanggaran berat hak asasi manusia, seperti pada kasus
pencemaran lingkungan besar-besaran di kawasan Amazonia di Ekuador
(1972-1998) dan di Delta Niger, Nigeria (1998).

Kasus di Ekuador diawali oleh pengeboran minyak oleh Texaco pda tahun
1972 di kawasan Lago Agio. Sejak saat itu, perusahaan yang kemudian
diambil-alih oleh Chevron tersebut telah menggelontori kawasan Amazon
Ekuador dengan 18 milyar galon limbah beracun (lihat gambar). Menurut data dari Koalisi Mempertahankan Amazon (Amazon Defence Coalition) dan Jaringan Hutan Hujan Sedunia (Rainforest Action Network),
sekitar 30.000 warga masyarakat adat lokal di sana menderita oleh
pencemaran tersebut dan tercatat sekitar 1.400 orang meninggal dunia
sebagai akibatnya. Setelah berjuang sekian lama menggugat Chevron,
barulah pada bulan Februari 2011, pengadilan Ekuador memenuhi gugatan
para pegiat lingkungan dan masyarakat adat Amazonia dengan menjatuhkan
hukuman bersalah kepada Chevron yang diwajibkan membayar denda kerugian
sebesar US$ 8,6 milyar.
Tetapi, bukan Chevron jika tak berusaha mengelak dengan segala cara.
Para jurubicara perusahaan raksasa itu berdalih apa saja, termasuk yang
konyol, seperti "Limbah minyak sama sekali tidak beracun" atau "Tidak
berarti hanya karena kami membeli Texaco pada tahun 2001 maka kami harus
bertanggungjawab membersihkan kotoran yang mereka tinggalkan di sana".
(Mike G dalam New Internationalist, 5 Januari 2012). Para
petinggi Chevron terus saja berdalih bahwa setoran bagi-hasil yang
pernah mereka bayarkan ke pemerintah Ekuador sudah melebihi jumlah denda
tersebut. Walhasil. sampai sekarang pun, Chevron terus berkelit dan
tidak menunaikan hukuman denda yang dijatuhkan pengadilan Ekuador itu
(Irene Caselli dalam New Internationalist, 21 Februari 2011).
Dengan kekuatan uang dan lobinya, tak mustahil memang Chevron
lagi-lagi memainkan kartunya dalam kasus ini. Wajar jika banyak yang
mencurigai ada 'permainan kotor' Chevron di belakang layar. Tengok saja
kejanggalan yang terjadi dalam kasus Delta Niger. Pada bulan Agustus
2007, Hakim Distrik di California, Susan Y. Illston, mengabulkan gugatan
terhadap Chevron atas kasus yang menewaskan dua perempuan pengunjuk
rasa, Jola Ogungbeje dan Aroleka Irowaninu, dan melukai puluhan orang
lainnya, termasuk anak-anak, yang memprotes pencemaran oleh Chevron
Nigeria Limited (CNL) di kawasan ulayat mereka. Hakim Illston menegaskan
bukti keterlibatan Chevron menyediakan angkutan keoada tentara Nigeria
yang melakukan penembakan. Anehnya, beberapa bulan kemudian, Maret 2008,
pengacara Barbara Hadsell malah mengundurkan diri dari proses gugatan
lanjut melawan Chevron itu. Pada bulan Desember 2008, Dewan Juri
Pengadilan Federal malah membebaskan Chevron dari tuduhan, berdasarkan
pembelaan pengacara Chevron bahwa perusahaan raksasa minyak itu terpaksa
meminta campur-tangan tentara Nigeria demi membela keselamatan nyawa
para karyawannya yang terancam oleh para pengunjuk rasa. (Bob Egelko
dalam San Fransisco Chronicle, 15 Agustus 2007; 12 Maret 2008;
dan 3 Desember 2008). Padahal, menurut rekaman kejadian oleh Friends of
the Earth Nigeria, para pengunjuk rasa itu hanyalah sekitar 15-20 orang
ibu, 8 orang anak-anak, dan 25 orang anak muda suku Ilaje yang datang
dengan tangan kosong, berkaos oblong, dan hanya membawa poster-poster.
(Sokari Ekine dalam New Internationalist, 12 Desember 2008).
Apa yang menarik dari kasus Chevron di Ekuador dan Nigeria ini adalah
sekali lagi penampakan kemunafikan Chevron dan juga pemerintah Amerika
Serikat. Tengok saja faktanya. Ketika Chevron dinyatakan bersalah oleh
pengadilan Amerika Serikat dalam kasus pencemaran di Richmond,
California, perusahaan itu menunaikan hukuman denda mereka sebesar US$
540.000. Demikian pula dalam kasus kilang El Segundo, juga di
California, dimana Chevron membayar US$ 7 juta untuk pemulihan
lingkungan yang telah mereka cemari serta tambahan biaya US$ 500.000
untuk memasang alat baru di kilang mereka yang bocor. Chevron juga
mengeluarkan US$ 275 juta untuk memasang teknologi baru yang mengurangi
buangan gas sulfur dioksida dan nitrogen dioksida (NOx) dari
kilang-kilang mereka di San Fransisco (Newsroom US EPA, 15 Oktober 1998).
Pertanyaannya adalah: mengapa ada perlakukan berbeda pada kesalahan Chevron di negara lain dengan di Amerika Serikat sendiri?
Mungkin fakta berikut bisa menjelaskannya: Chevron mengeluarkan dana
besar untuk membiayai lobi-lobi politik mereka di Washington. Sejak
Januari 2011 saja, Chevron sudah mengeluarkan dana sebesar US$ 15 juta
untuk membiayai lobi-lobi di ibukota Amerika Serikat itu. Pada tanggal 7
Oktober 2012, Chevron menyumbang US$ 500,000 ke dalam Pundi
Kepemimpinan Kongres Partai Republik (Republican Congressional leadership Fund) (laporan Dan Eggen dalam Washington Post,
26 Oktober, 2012). Selain itu, para mantan petinggi Chevron pernah
masuk dalam lingkaran inti Gedung Putih. Di masa Presiden George W.Bush,
Penasehat Keamanan Nasional (2001-2005) dan kemudian diangkat sebagai
Menteri Luar Negeri (2005-2009), Condoleezza Rice, tiada lain adalah
salah seorang mantan anggota Dewan Direktur Chevron. Tetapi, kita keliru
jika menganggap hanya Partai Republik yang konservatif itu yang
menjalin hubungan erat dengan para konglomerat seperti Chevron. Partai
Demokrat sama saja. Ketika berkampanye untuk masa jabatan pertamanya
dulu, Senator Barrack Obama 'menyindir' pesaingnya, Senator John McCain
dari Partai Republik, terlalu dekat dengan konglomerat minyak, termasuk
Chevron. Ketika terpilih jadi Presiden, Obama malah juga mengangkat
seorang mantan anggota Dewan Direktur Chevron, Jenderal Marinir (Purn)
James Jones, sebagai Penasehat Keamanan Nasional (2009-2010). Jadi,
"setali tiga uang".

Apapun di baliknya, semua fakta tersebut penting diketahui dan patut
dijadikan pelajaran bagi warga masyarakat dimana perusahaan raksasa
minyak seperti Chevron sudah dan akan beroperasi, termasuk para warga
masayarakat adat lokal Sunda Wiwitan di kawasan Cigugur, Kuningan, Jawa
Barat. Karena, Chevron bukan tidak pernah punya rekam jejak kelam di
negeri ini. Yang paling heboh, tentu saja, adalah kasus penghindaran
pajak (tax evasion) senilai US$ 3,25 milyar antara tahun 1970
sampai 2000 melalui permainan harga minyak dengan PERTAMINA, melalui
anak perusahaan mereka, Caltex. (CNN Money, 13 September 2002)
Jadi, tak terlalu salah kalau penulis Nigeria tadi, Sokari Ekine, mem-pleset-kan nama dan dan logo Chevron menjadi 'Chewrong' (Chev yang salah, berdosa!)(lihat gambar)
Source :www. insist.or.id.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar