Kegiatan ini dibuka oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kab. Wonogiri Sentot Sujarwoko, SH dengan membacakan sambutan tertulis Kepala Disbudpar Jateng. Dalam kesempatan ini beliau juga memberikan sambutan pribadinya yaitu ajakan kepada para generasi muda khususnya para pelajar peserta jelajah budaya untuk bisa mengenal, menguri-uri, melestarikan dan mengembangkan budaya nusantara yang meliputi seni adat dan tradisi jawa, karena mempunyai makna dan filosofi yang adi luhung. Beliau juga menjelaskan bahwa di kabupaten Wonogiri mempunyai kekayaaan akan seni budaya dan adat tradisi dimana terdapat asal muasal pembuatan wayang kulit yang telah ada turun termurun sejak jaman dahulu.
Jelajah Budaya kali ini mempunyai 3 tujuan lokasi/tempat bersejarah sebagai kekayaan budaya di Jawa Tengah. Objek pertama yang dikunjungi adalah pusat kerajinan wayang kulit yang berada di Kec. Manyaran Kab.Wonogiri. Objek kedua adalah Museum Tosan Aji di Kab. Purworejo. Dan objek terakhir di Museum Pangeran Diponegoro yang berlokasi di Kab. Magelang.
Objek I - Kabupaten Wonogiri
Dilingkupi tatar perbukitan cadas, Kepuhsari dihiasi tumbuhan-tumbuhan khas macam pohon sawo dan pohon jati. Tak hanya itu, sawah juga menghampar berundak-undak. Sayangnya, saat kemarau tiba, hamparan sawah yang menghijau berubah wujud. Kuning kecoklatan, kering. Bukan bulir padi yang tampak melainkan tanah yang tak tertanam.
Beruntung, Desa Kepuhsari dihuni manusia-manusia kreatif yang tak hanya berkutat di sawah atau ladang. Mereka seakan punya dunia lain yang membuat hidupnya penuh warna. Dunia penuh kebijaksanaan, dunia wayang. Wayang kulit seolah mendarah daging di tubuh warga Desa Kepuhsari. Wayang bukan cuma dipentaskan, wayang menjadi identitas yang tak bisa lepas dari jalan cerita hidup warga Kepuhsari.
Bagi mereka, wayang juga bukan cuma pelajaran hidup. Wayang dikomodifikasi agar bisa diandalkan untuk menyambung hidup sehari-sehari selain bercocok tanam yang selama ini menjadi tumpuan. Maka tak bisa dipungkiri lagi, wayang bagi Desa Kepuhsari adalah sumber penghidupan.
Hasil kerajinan wayang dari Desa Kepuhsari sudah diakui kualitasnya, mulai dari pemilihan kulit, tatahan, serta pewarnaan wayang. Hasil kreavitas warga Kepuhsari pun sudah dikenal sampai ke luar daerah seperti Jakarta, Solo, Yogyakarta, Surabaya bahkan luar negeri.
Para pembelinya juga tersebar di berbagai kota. Maka tak heran, jika dalang-dalang wayang kulit terkenal Indonesia mempercayakan wayang Kepuhsari dalam setiap pementasan.
kreatif melestarikan wayang kulit juga tidak terlepas dari peran beberapa sanggar wayang yang ada di Kepuhsari, sebut saja Sanggar Nimas, Sanggar Sukma, dan Sanggar Wayang Wagimin.
Selain melestarikan, ketiga sanggar wayang itu mempunyai fungsi penting sebagai tempat untuk mementaskan wayang kulit baik di dalam mau pun luar desa. Lebih penting lagi, sanggar-sanggar wayang menjadi tempat bagi penduduk desa untuk belajar mendalang, menjadi niyaga (penabuh gamelan), dan sinden (penyanyi yang mengiringi pementasan wayang dan posisi lain yang terkait).
Tak ayal, Kepuhsari menjadi sebuah desa yang cukup penting untuk menjaga, melestasikan, dan mengenalkan dunia perwayangan di Jawa Tengah maupun Indonesia. Kepuhsari bisa dibilang 'Desa Wayang' karena proses kreatif perwayangan di Kepuhsari dimulai dari hulu hingga hilir, dari tatah sungging (pembuatan) sampai pada pementasannya (dalang)
Keberadaan Manyaran tak bisa dilepaskan
dari sejarah perkembangan kesenian wayang kulit di Jawa. Karena di
tempat itulah konon dulu kala merupakan tempat kelahiran Ki Panjangmas
dan Nyi Anjangmas, pasangan suami istri yang menjadi dalang kebanggaan
Kerajaan Mataram Islam di pertengahan abad 16 M.
Dari keduanya inilah, akhirnya terlahir
pakem pedalangan yang masih dianut hingga sekarang, baik di Surakarta
maupun Yogyakarta yang merupakan dua wilayah peninggalan Mataram.
Selain itu, mereka juga melahirkan banyak garapan gending karawitan sebagai pengiring pergelaran wayang. Dan hingga kini kita masih bisa menemukan keberadaan para keturunan Ki Panjangmas di Manyaran
Tak hanya itu, ada sumber pula yang menyebutkan di akhir abad 18 M terdapat para empu wayang era SISKS Paku Buwana (PB) X, Raja Keraton Kasunanan Surakarta, dan KGPAA Mangkunegara (MN) VII di Manyaran.
Dari situlah, para empu tersebut
melahirkan banyak keturunan pembuat wayang yang tersebar di Manyaran,
Klaten, Sukoharjo, Sragen, bahkan Yogyakarta. Hal itu menjadi masuk
akal, karena di zaman dulu dalang dan keturunannya diharuskan pula untuk
bisa membuat dan memperbaiki wayang.
Untuk itu, tak aneh meski secara
geografis Manyaran lebih dekat dengan Yogyakarta, namun gaya garapan wayang
Manyaran cenderung mengiblat kepada gaya Surakarta.
Dalam kesempatan ini rombongan Jelajah Budaya disambut dengan pagelaran wayang kulit. Pagelaran ini terasa lebih unik karena menampilkan dalang kecil bernama Pandam Aji Anggoro Putra yang masih duduk di bangku kelas 6 SD. Dan biasanya dalam pagelaran wayang yang menjadi sinden adalah para kaum hawa, tetapi pada pagelaran ini menampilkan sinden lelaki. Kualitas suaranyapun tak mau kalah dengan sinden perempuan seperti biasanya.
Dalam kesempatan ini rombongan Jelajah Budaya disambut dengan pagelaran wayang kulit. Pagelaran ini terasa lebih unik karena menampilkan dalang kecil bernama Pandam Aji Anggoro Putra yang masih duduk di bangku kelas 6 SD. Dan biasanya dalam pagelaran wayang yang menjadi sinden adalah para kaum hawa, tetapi pada pagelaran ini menampilkan sinden lelaki. Kualitas suaranyapun tak mau kalah dengan sinden perempuan seperti biasanya.
Objek II - Kabupaten Purworejo
Tosan aji merupakan salah satu hasil budaya bangsa pada masa perundagian
sebagai warisan nenek moyang yang menunjukkan salah satu identitas
budaya bangsa yang sampai kepada kita sekarang. Yang dimaksud Tosan Aji adalah
sejenis senjata pusaka dari logam besi yang mendapat tempat terhormat
(yang dihargai) di mata masyarakat terutama pada masa lampau,
diantaranya berupa keris, tombak, pedang,kudi dan menur. Dalam alam
pemikiran masyarakat lebih-lebih pada masa lampau Tosan Aji dianggap memiliki kekuatan gaib/kesaktian yang dapat mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat.
Seiring
perkembangannya, Museum Tosan Aji tidak hanya menyajikan koleksi Tosan
Aji saja, namun juga menampilkan berbagai koleksi benda cagar budaya
yang banyak ditemukan di wilayah purworejo, baik pada masa prasejarah
maupun masa klasik. Koleksi cagar budaya menambah daya tarik tersendiri
bagi para pengunjung. Disamping pengetahuan yang diperoleh ternyata
ketakjuban juga dengan kekayaan alam yang dimiliki kota Purworejo.
Koleksi
pusaka yang dimiliki lebih dari 1000 bilah terdiri dari keris, pedang,
tombak, kujang/kudi, Cundrik Granggang yang berasal dari masa Kerajaan
Pajajaran, Majapahit hingga sekarang, dan tersimpan pula benda-benda
cagar budaya lainnya seperti Gamelan Kuno Kiyai Cokronegoro, hadiah dari
Sri Susuhan Paku Bowono VI kepada Bupati Purworejo Pertama Cokronegoro
serta arca, prasati, lingga, yoni, fragmen lumping, guci, beliung, batu
gong, gerabah menhir, dan fosil.
Objek III - Kota Magelang
Museum ini merupakan kamar petilasan Pangeran Diponegoro, terletak di sayap kiri Pendapa Keresidenan Kedu yang dibangun tahun 1810. Objek wisata sejarah ini menyimpan peninggalan Pangeran Diponegoro yang ditangkap secara licik dalam suatu perundingan dengan Belanda.
Museum ini juga menyimpan salah satu jubah Pangeran Diponegoro
berukuran panjang 1,57 meter, lebar 1,35 meter terbuat dari kain
shantung, kitab tahrib, balai-balai tempat sembahyang, dan tujuh buah
cangkir tempat tujuh macam minuman kegemaran Pangeran Diponegoro.
Kegiatan Jelajah Budaya ini ditutup oleh Kasi Nilai Budaya Disbudpar Prov. Jateng Eny Haryanti, S.Pd, M.Pd dengan memberikan apresiasi kepada para peserta yang sangat antusias dalam mengikuti kegiatan jelajah budaya dalam bertanya dan menggali informasi tetang budaya lokal untuk memperkaya dan mempertebal rasa cinta terhadap budaya bangsa.