“Seperti di daerah pantai ada sedekah laut, di tengah-tengah ada
sedekah bumi. Kami yang disini boleh dikata sebagai sedekah gunung,”
ujar Dastam ketua adat Jalawastu. Upacara adat ini digelar setiap Selasa Kliwon pada Mangsa Kesanga.
Gelaran Ngasa ini diadakan dalam kurun satu tahun sekali. Kali pertama,
Ngasa digelar sejak masa pemerintahan Bupati Brebes IX Raden Arya Candra
Negara.
Ngasa berarti perwujudan rasa syukur kepada Batara Windu Buana yang
dianggap sebagai pencipta alam. Batara sendiri mempunyai ajudan yang
dinamakan Burian Panutus. semasa hidupnya tidak makan nasi dan lauk pauk
yang bernyawa. “Semua itu, sebagai kebaktian kepada Batara,” imbuh Dastam.
“Nilai-nilai kesahajaan, rasa syukur, gotong royong, taat beribadah
dan menjadi penjaga lingkungan, merupakan contoh kongkrit revolusi mental
yang tergambar dalam upacara adat Ngasa,” ujar Direktur Kepercayaan
Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI, Sri Hartini saat mengikuti upacara adat dan tradsi Ngasa di Dukuh
Jalawastu, Desa Ciseureuh, Ketanggungan Brebes, Selasa 1 Maret 2016.
Kebudayaan yang dibangun masyarakat Jalawastu, lanjutnya, menjadi ruh
bagi pembangunan bangsa. Juga perilaku anak-anak jalawastu yang tetap
mempertahankan permainan tradisional, menjadikan mereka memiliki jiwa
yang kokoh, termasuk mengakui kekalahan dan kemenangan ketika
bertanding. “Ada dua hal yang sesungguhnya kita sulit menemukan diera digital
ini, yakni kebersamaan dan kesederhanaan. Padahal keduanya bisa
menyelamatkan masyarakat dari generasi ke generasi,” ujar Hartini.
Betapa kita terkejut, sambungnya, saat ini, masyarakat kita telah
dininabobokan dengan perkembangan teknologi informasi seperti gatget,
tetapi sesungguhnya telah memberangus kebudyaan kita yang adiluhung.
Oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata Hartini, komunitas
adat ini mendapat bantuan revitalisasi masyarakat adat sebesar Rp 480
juta. Bantuan itu diberikan pada tahun 2015 dan telah diwujudkan
pemberdayaannya untuk pengembangan balai budaya, pemagaran situs Gedong
Pesarean, pembangunan saung singgah, dan gapura kampung budaya
Jalawastu.
Bangunan tersebut diresmikan oleh Bupati Brebes, Hj Idza Priyanti
dengan menggunting pita yang melintang di pintu masuk dan penandatangan
prasasti. Kepala Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Brebes, Amin
Budi Raharja menjelaskan, Dukuh Jalawastu telah sejajar dengan
masyarakat adat lainnya yang telah dikenal lebih dahulu di Indonesia,
seperti kaum Samin di Blora, masyarakat tengger Banyumas dan lain-lain. Jalawastu mampu mencerminkan kesadaran masyarakat akan keberagaman
budaya dan tradisi di Kabupaten Brebes. Betapapun kampung adat merupakan
living culture yang berperan dalam pembentukan identitas sosial.
Bupati Brebes, Hj Idza Priyanti SE menegaskan, kampung Jalawastu
menjadi Desa Wisata dengan pemenuhan berbagai fasilitas pendukungnya.
Nantinya warga akan diikutkan berbagai pelatihan dan pemenuhan
kelembagaan. Sehingga dengan adanya pembinaan dan pengembangan, akan
mampu bersaing dengan kampung budaya yang lain.
“Kita perlu menyiapkan akomodasi seperti home stay, atraksi (ngasa,
air terjun, petilasan) dan amunitas atau daya dukung seperti jalan,
kuliner khas dan lain yang harus dikemas dengan baik,” tandas Idza. Jalawastu merupakan komunitas masyarakat di lereng Gunung Kumbang dan
Gunung Sagara yang melestarikan tradisi Sunda-Jawa. Pedukuhan tersebut,
telah terpelihara ratusan tahun lamanya dengan memegang teguh upacara
adat budaya Ngasa yang digelar setiap Selasa Kliwon mangsa kasanga
setiap tahunnya.
Seiring perkembangan jaman dan masuknya agama Islam di wilayah
itu, warga memasukan ajaran-ajaran Islam dalam upacara Ngasa. “Hingga
sekarang, masih ada 102 rumah dari 111 kepala keluarga yang dahulu masih
bertahan,” kata Dastam. Dari pantauan, kini telah berdiri dua buah mushola berukuran lebih
kurang 4 X 6 meter persegi. Tidak terlihat ada pengeras suara, mushola
tersebut terbuat dari lempengan kayu namun terlihat kokoh. Yang unik di Dukuh Jalawastu, seluruh rumah yang dibangun semua
berdinding kayu dan beratap seng. Rumahnya tidak boleh menggunakan atap
genting dan tidak bersemen atau keramik.
Yang unik, mereka berpantang menanam
bawang merah meski Brebes merupakan komoditas utama penghasil bawang
merah. Juga tidak boleh menanam kedelai serta memelihara kerbau, domba
dan angsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar