Kontingen Kabupaten Semarang saat menampilkan permainan tradisional. |
Suatu tembang atau lagu yang didendangkan secara terus menerus disebuah permainan anak, mampu membentuk karakter pada anak tersebut.
Karakter itu sesuai dengan nilai-nilai positif atau norma yang berlaku sesuai
dengan kearifan lokal di daerah masing-masing.
Hal itu diungkapkan St. Wiyono, S.Kar, sebelum mengumumkan
pemenang pada Festival Permainan Rakyat se Jawa Tengah di Pondok Tingal
Borobudur, Mungkid (29/7).
Event yang digelar setiap tahunnya ini diadakan oleh Seksi Nilai Tradisi dan Sejarah, Bidang Pembinaan Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah.
Event yang digelar setiap tahunnya ini diadakan oleh Seksi Nilai Tradisi dan Sejarah, Bidang Pembinaan Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah.
Festival ini diikuti 6 grup dari 6 Kabupaten/Kota
yang mewakili 6 eks karesidenan se Jawa Tengah. Diantaranya dari Kabupaten
Pemalang, Kabupaten Semarang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo,
Kabupaten Pati dan Kabupaten Sragen.
Dari ke 6 grup tersebut, muncul sebagai penampil tebaik diraih Kabupaten Semarang, disusul Kabupaten Pati
dan urutan ke 3 diraih Kabupaten Sukoharjo.
Mereka mempunyai kemampuan yang bagus dan merata, seolah seperti bermain apa adanya dan karakter itu diperkuat salah satu anak yang memakai nomor dada, jelas salah satu juri, Eny Haryanti, mengomentari tim dari Kabupaten Semarang. Anak perempuan yang dimaksud adalah Lili. Pelajar kelas 6 SD Sudirman Ambarawa yang bernama lengkap Laellyana Rindi Evelina itu memang mempunyai bakat dibidang seni drama dan pernah menjadi juara dalam lomba dongeng berbahasa jawa.
Saya terkendala dalam menentukan setting peran dan penabuh gamelan, karena tidak mudah menentukan pemain sekaligus sebagai penabuh gamelan, ungkap Septiana, guru sekaligus sutradara dari kontingen Kabupaten Semarang. Sangat bersyukur kami mempunyai anak-anak yang mempunyai talenta yang bagus, jadi semua kendala bisa kami atasi dengan baik, lanjutnya.
Mereka mempunyai kemampuan yang bagus dan merata, seolah seperti bermain apa adanya dan karakter itu diperkuat salah satu anak yang memakai nomor dada, jelas salah satu juri, Eny Haryanti, mengomentari tim dari Kabupaten Semarang. Anak perempuan yang dimaksud adalah Lili. Pelajar kelas 6 SD Sudirman Ambarawa yang bernama lengkap Laellyana Rindi Evelina itu memang mempunyai bakat dibidang seni drama dan pernah menjadi juara dalam lomba dongeng berbahasa jawa.
Saya terkendala dalam menentukan setting peran dan penabuh gamelan, karena tidak mudah menentukan pemain sekaligus sebagai penabuh gamelan, ungkap Septiana, guru sekaligus sutradara dari kontingen Kabupaten Semarang. Sangat bersyukur kami mempunyai anak-anak yang mempunyai talenta yang bagus, jadi semua kendala bisa kami atasi dengan baik, lanjutnya.
FESTIVAL TRADISI
LISAN
Kontingen Kabupaten Purbalingga saat menampilkan tradisi lisan Ipat-Ipat Wayah Sandekala |
Tradisi
lisan, budaya lisan dan
adat lisan adalah pesan atau
kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan, pidato,
nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasihat, balada, atau
lagu. Dalam seni pertunjukan yang difestivalkan, tradisi lisan lebih sering ditampilkan dalam
sebuah sajian panggung kolaborasi seni drama, tari, dan musik tradisi.
Muncul sebagai penyaji terbaik dalam Festival Tradsi lisan
kali ini diraih Kabupaten Purbalingga, disusul Kabupaten Cilacap dan terbaik ke
3 (tiga) diraih Kabupaten Karanganyar.
Kabupaten Purbalingga yang menjadi penyaji terbaik itu
menampilkan sebuah fragmen yang berjudul Ipat
– Ipat Wayah Sandekala. Seni pitutur atau tradisi lisan ini menampilkan
sebuah cerita rakyat yang mengemas pesan-pesan moral orang tua terdahulu. Pesan
ini berupa larangan untuk melakukan suatu aktivitas pada saat pergantian waktu
dalam satu hari, yaitu pergantian malam ke pagi, pergantian siang hari, dan
pergantian sore ke malam.
Larangan dan wejangan orang tua yang dikalangan anak – anak
sekarang banyak dicap sebagai tuntunan kuno, oleh tim kesenian Kabupaten
Purbalingga dikemas dengan manampilkan suatu pemasalahan keluarga pada
kehidupan masyarakat pedesaan. Permasalahan yang dihubungkan dengan larangan
saat sandekala tersebut diselesaikan dan dikupas secara logika sehingga mudah
diterima oleh akal pikiran generasi muda di era sekarang.
Dewan juri kedua festival ini berasal dari praktisi, seniman dan budayawan Jawa Tengah. Diantaranya St. Wiyono, S.Kar dan Agung Kusumo Widagdo, S.Sn, yang merupakan seniman dan koreografer dari kota Surakarta. Kemudian ada Eny Haryanti, S.Pd. M.Pd, penari senior sekaligus pejabat di Biro Kesra Setda Provinsi Jateng, Hanindawan Sutikno, SE, sutradara teataer dari Taman Budaya
Jawa Tengah, dan Bambang Permadi AAN, S.Kom, budayawan dari
Padepokan Wulan Tumanggal.
Festival ini dibuka oleh Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah Drs. Bambang Supriyono, M.Pd dan dihadiri Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang, Ahmad Husein, SE.
Festival ini dibuka oleh Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah Drs. Bambang Supriyono, M.Pd dan dihadiri Kepala Bidang Kebudayaan, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Magelang, Ahmad Husein, SE.