![]() |
Hendira Ayudia Sorentia |
Perempuan dalam Relasi Manusia dengan Tuhannya
Ora ana apa – apa, kang ana mung Ingsun, Ingsuning Ingsun, Kang
Yasa Ingsun, iya iku Hyang Hana Tan Hana nanging pasti anane, tanpa
kawitan tanpa pungkasan, jumeneng kalawan Pribadi, sabab karana
sakabehing sabab, sangkan paraning dumadi. (Koesoemaboedaja, 1992)
Sesungguhnya setiap perancang (pencipta) memiliki maksud (purpose)
dan tujuan ketika merancang atau menciptakannya. Kita bisa mengetahui
maksud dan tujuan dari perancang (pencipta) dengan melihat hasil
rancangan atau produk ciptaannya. Misalnya rancangan sebuah mobil,
bila kita melihat suatu mobil dengan kursi sebanyak 40 buah, maka kita
tahu bahwa maksud perancangnya adalah membuat mobil untuk mengangkut
banyak penumpang. Bila kita lihat rancangan mobil menggunakan bak di
belakangnya, maka kita menyebutnya untuk alat angkut barang.
Bagaimana dengan penciptaan manusia? Seperti halnya mobil
dibuat untuk mengangkut benda dari satu tempat ke tempat lain, maka
manusia diciptakan untuk memberi manfaat atau kontribusi bagi lingkungan
atau orang lain. Manusia juga diciptakan dengan rancangan atau fitur
yang berbeda-beda. Tuhan pasti memiliki maksud dan tujuan tertentu
dengan menciptakan manusia dengan bentuk dan rupa yang berbeda-beda.
Tetapi secara biologis, manusia diciptakan oleh Tuhan hanya dalam dua
bentuk yang berbeda, lelaki dan perempuan.
Secara fisiologis, tubuh perempuan momot (memuat) beberapa
organ vital yang fungsinya lebih kompleks dibandingkan tubuh lelaki.
Konsekuensinya, fungsi fisiologis perempuan berbeda dengan lelaki,
sehingga maksud dan tujuan penciptaan perempuan tentu saja berbeda
dengan maksud dan tujuan penciptaan lelaki.
Dalam dunia kepenghayatan kepercayaan terhadap Tuhan YME (selanjutnya disebut penghayat),
perbedaan antara perempuan dan lelaki, sejatinya hanya berhenti pada
fungsi fisiologis tubuh. Hal ini dikemukakan oleh Koesoemaboedaja (1992)
bahwa “Sejatine menungsa iku padha nunggal kahanan jati Kang Jumeneng
Pribadi, nanging rasa pangrasane padha pisah – pisah. Kang aran Aku iku
dudu badan, dudu rasa, dudu angen – angen, dudu budi, dudu nyawa. Badan,
rasa, angen – angen, budi, nyawa iku kabeh pirantine wadhaging alam kan
kawengku ing Aku, dadi Aku iku wengkune.”
Sejatinya manusia itu semua menyatu pada pokok pengalaman dalam
berke-Tuhan-an, tetapi terasanya terpisah. Yang disebut Aku (manusia)
itu bukan tubuh, bukan perasaan, bukan pemikiran, bukan budi pekerti,
bukan pula nyawa. Tubuh, perasaan, pemikiran, budi – pekerti dan nyawa,
itu semua hanyalah alat perwujudan fisikawi yang termuat di dalam Aku
(manusia), sehingga Aku (manusia) itulah tempat (wadah)nya. (Penulis)
Dunia penghayat menganggap relasi manusia dengan Tuhannya sebagai suatu pengalaman (laku) utama yang nunggal
(menyatu), sehingga manusia satu dengan manusia lainnya, setara. Tubuh
yang secara fisiologis berbeda fungsi bukan merupakan wadah, tetapi
hanya salah satu perwujudan fisikawi manusia. Dalam relasi manusia
dengan Tuhannya, perempuan dan lelaki setara.
Jagad Permaknaan Intelektual Perempuan dan Lelaki
Pada segenap masyarakat adat dan penghayat dari rumpun protomelayu,
memahami bahwa manusia terdiri atas unsur alam raya, dimana yang
dipentingkan bukanlah penyatuan alam kodrat secara definitif sehabis
hidup, melainkan pengalaman kesatuan sekarang (Subagya, 1981). Melalui
latihan tertentu manusia sewaktu – waktu “merasa” dirinya mengalami
lebur dalam zat universal. Ke-aku-annya dirasa hilang. Pengalaman
kekosongan itu memang dengan sengaja dituju. Pengalaman itu antara lain
disebut dengan berbagai nama : suwung, sunya, ilang, lepas darat wiyat, mati sajroning ngaurip, sirna dan lain – lain. Berkat transformasi ini manusia mengetahui Sangkan Paraning Dumadi, sekti, aji, kebal,
kemampuan memahami orang lain dan diri sendiri, kemampuan memahami
peristiwa – peristiwa dalam kehidupannya, atau yang oleh masyarakat adat
dan penghayat disebut ngelmu dan kawruh.
Masyarakat adat dan penghayat juga mempunyai ukuran atau standar yang
dipergunakan untuk mengukur sikap atau tindakan pribadi anggotanya.
Masyarakat adat dan penghayat sangat peka akan perasaan bahwa ia tidak
hidup sendiri di dunia ini, bahwa disamping apa yang kasat mata (dapat
dikontak oleh indera), masih luas sekali dunia yang datan kasat mata (tidak
terkontak oleh indra), yaitu dunia halus di dalam jagad raya yang luas
membentang (makrokosmos), maupun di alam jagadnya manusia sendiri, dan
bahkan juga di sekitar tempat ia berpijak (mikrokosmos). Pengetahuan
yang digunakan untuk memahami makrokosmos disebut ngelmu dan pengetahuan yang digunakan untuk memahami mikrokosmos disebut kawruh.
Masyarakat adat dan penghayat menemukan bahwa hidupnya bergantung dari
alam, dan bila dia selaras dengan alam, hidupnya beres. Keselarasan itu
ditentukan oleh praktek, dimana pengetahuan dan teknik diterapkan dalam
pengalaman (laku) hidupnya.
Kembali pada pemahaman bahwa sejatine menungsa iku padha nunggal
kahanan jati Kang Jumeneng Pribadi, maka tuntunan dan tuntutan untuk ngudi elmu lan kawruh berlaku
setara bagi perempuan dan lelaki anggota masyarakat adat dan penghayat.
Kehidupan manusia pada prinsipnya meliputi periode kelahiran,
perkawinan dan kematian, yang dalam rangka keberhasilan melaluinya,
manusia, perempuan dan lelaki harus menempa diri dengan ngelmu lan kawruh untuk mengatasi problem – problem yang muncul sebagai konsekuensi logis kehidupan.
Kiprah Perempuan Penghayat dalam Ranah Domestik dan Publik
Kehidupan manusia yang pada prinsipnya hanya menjalani tiga periode,
kelahiran, perkawinan dan kematian, maka bagi kami, anggota masyarakat
adat dan penghayat, tidak ada dikotomi antara ranah domestik dan ranah
publik. Setiap, manusia, baik perempuan maupun lelaki, punya bobot
tanggung jawab yang sama untuk mensukseskan perjalanan hidupnya,
memahami dengan sebaik – baiknya bahwa untuk mencapai kemerdekaan
sejati, manusia harus mensinergikan tubuh, perasaan, pemikiran, budi –
pekerti dan nyawa yang termuat dalam kemanusiaannya.
Bahwa secara kodrati tubuh perempuan diciptakan dengan fungsi
fisiologis yang lebih kompleks dibandingkan tubuh lelaki, sehingga
maksud dan tujuan yang mengiringi penciptaan perempuan berbeda dengan
lelaki. Tetapi tidak lantas dimaknai bahwa fungsi – fungsi
kemanusiaannya hanya terbatas pada fungsi – fungsi fisiologis tubuhnya.
Tubuh, hanya salah satu dari berbagai alat perwujudan fisikawi yang
termuat di dalam Aku (manusia), sehingga Aku (manusia) itulah tempat
(wadah)nya. Dengan begitu, dapatlah dipahami bahwa dalam masyarakat adat
dan penghayat, perempuan sama bobotnya dengan lelaki.
1. Kelahiran
Perempuan momot, momong, kamot (mengandung, memelihara, mendidik)
Lelaki momong, kamot ( memelihara dan mendidik)
Koesoemaboedaja (1992) menjelaskan, bapa biyung mulang jiwaning si anak :
Sepisan : digulawentah lan dilelantih lair batin supaya Wening
Budine, amarga kanti weninging budi ing pangajab si anak bisa nyarirani
budi luhur lan slira pakarti luhur.
Kapindho : si anak digegulang marang kawicaksdanan dedalaning kasampurnan.
Katelu : si anak dilelithing sinau ngudi kasampurnan nggayuh
kamardikan, iya iku manunggaling kawula Gusti, Sangkan Paraning Dumadi
lan Kasidan Jati. Bali mulih marang mula – mulanira.
Kasekawan : Memayu hayu rahayuning Nuswantara lan Bawana, mrih langgenging Jagad Traya.
2. Perkawinan
Perempuan dan lelaki saling mengambil peran dan fungsinya yang setara
dalam kehidupan. Dalam kondisi tertentu bisa bergantian peran.
Kuncinya, tanggap ing sasmita.
3. Kematian
Yang masih hidup bertanggung jawab ngupakara (memelihara, menyiapkan segala sesuatu) bagi yang mati.
Persepsi Keliru Masyarakat Awam terhadap Masyarakat Adat dan Penghayat
Anggapan di masyarakat yang banyak berkembang saat ini, masyarakat
adat dan penghayat dalam relasi antar manusianya, menggunakan konsep –
konsep hubungan jender yang bersifat patriarkal. Hal ini mungkin
disebabkan karena masyarakat awam “mewarisi” pemahaman bahwa masyarakat
adat dan penghayat menggunakan konsep – konsep jawa ningrat Mataram
Kota Gede sebagai hasil pergeseran ideologi Jawa Hindu Budha ke Islam
yang kental unsur patriarkalnya.
Padahal sejatinya, masyarakat adat dan penghayat menggunakan pola
komunal agraris bahari yang egaliter, nirjender yang menyatu dengan
jagad raya. Perempuan dan lelaki adalah wujud keharmonisan alam,
sepasang, setara dan sinergi.
Alhamdulillah...
BalasHapusNyi mas Ayudia.. telah mewakili suara hati seorang wanita
Inilah yang di harapkan dari sang pelopor RA.KARTINI
salam santun Kawulo alit saking bumi Arema
Salam santun ... assalamualaikum
BalasHapusNyi mas Ayudia
Saya Kawulo alit saking bumi Arema
Sangat mendukung program kegiatan nyi mas.inilah yang di gadang -gadang oleh pelopor wanita RA.KARTINI.
cekap atur Kawulo wasalam mualaikum..wr.wb