
Data yang disajikan oleh instansi tersebut menjadi acuan awal
kegiatan monitoring Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang
terhadap problematika kelompok penghayat kepercayaan sepanjang tahun
2013. Adapun secara umum, hasil pemantauan perkembangan penghayat di
Jawa Tengah tahun 2013 kami coba gambarkan secara deskriptif.
Menurut data dari Kepala Seksi Bidang Intelejen Kejaksaan Negeri
Semarang, telah terjadi penurunan drastis eksistensi penghayat di Kota
Semarang. Dari 30 organisasi tinggal 7 yang masih aktif, adapun lainnya
dianggap tidak ada aktifitas. Menurutnya hal tersebut merupakan akibat
dari tidak adanya regenerasi penghayat.
Sebagaimana Kota Semarang, menurut Asworo Palguno selaku Sekertaris
Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) Kabupaten Pekalongan, menyatakan
bahwa banyak organisasi penghayat mengalami kevakuman karena tidak ada
komunikasi dengan pemerintah. Lebih dari itu, mereka tidak pernah
mendapatkan bantuan dari pemerintah. Menurutnya sampai saat ini
penghayat di Pekalongan hanya sekitar 600 orang.
Di Batang, berdasarkan data dari Kesbangpol dan Linmas hanya tercatat
8 organisasi yang masih aktif. Menurut Amat Dhuri (Penghayat Jawa
Jawata), banyak organisasi penghayat yang belum terdaftar termasuk
organisasinya. Adapun kendala yang pernah dialaminya adalah penolakan
saat hendak mengosongkan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP) di
Kec. Warungasem. Penolakan tersebut didasarkan pada ketidaktahuan
petugas yang memaksakan untuk menulis salah satu dari enam agama yang
diakui.
Berbeda dengan fenomena di kabupaten lain, di Brebes telah terjadi
pemecatan guru oleh instansi pendidikan SD swasta karena statusnya
sebagai penghayat. Peristiwa tersebut terjadi pada salah satu penghayat
Sapto Dharmo. Selain itu pernah ada penolakan pemakaman di Cikandang
Kec. Kersana dan pada tahun 1979. Di Desa losari Lor Kec. Losari pernah
juga terjadi konflik yang mengakibatkan rumah ibadah warga Sapto Dharmo
dibakar.
Menurut Kun Prasetyono, Sekertaris Badan Kesbangpol dan Linmas Kota
Salatiga, hanya ada 8 organisasi yang tercatat di instansinya. Jumlah
organisasi yang disebut ternyata tidak berbanding lurus dengan jumlah
penhayatnya. Menurut Dadang (Ketua HPK Salatiga) menyatakan bahwa
aktifitas penghayat kepercayaan mengalami kelesuan karena tidak adanya
koordinasi antar paguyuban dan relasi dengan pemerintah yang kurang
terjalin.
Di Demak, Penghayat Sapto Dharmo mulai mengalami penyusutan.
Berdasarkan data dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Demak
tercatat sebanyak 228 penghayat. Menurut Djoko Suwarno (penghayat Sapto
Dharmo), ada pemaksaan bagi pendidikan anak-anak penghayat di sekolah
untuk mengikuti Agama Islam. Kolom dalam KTP pun mayoritas masih
beragama Islam. Ritul kematian dan perkawinan masih menggunakan tradisi
Islam. Lain dari itu, pernah terjadi konflik antara warga sampai kepada
pengucilan pembakaran sanggar.
Di Rembang menurut Sungkowo (Ketua HPK Rembang) tercatat 7 organisasi
penghayat yang masih aktif. Adapun problem yang dihadapi, dirinya
menyatakan bahwa pendidikan anak-anak disekolah masih mengikuti agama
yang ditentukan. Menurutnya, sampai saat ini undang-undang pendidikan
tidak mendukung untuk memfasilitasi pendidikan keagamaan bagi penghayat.
Berbeda dengan di Rembang, di Purworejo permasalahan yang dihadapi
penghayat adalah diskriminasi dari masyarakat setempat.
Selain muncul pelbagai problem, di berbagai daerah yang menjadi
sasaran monitoring didapatkan pula perkembangan yang cukup signifikan.
Hal tersebut ditandai dengan harmonisnya hubungan pemerintah daerah
dengan organisasi penghayat, juga belum ditemukannya permasalahan
diskriminatif oleh pemerintah setempat atau permasalahan ketimpangan
sosial yang menimpa penghayat dan masyarakat agama. Sebagai contoh
daerah Kabupaten Semarang, Banyumas, Cilacap dan Purworejo.
Kendati ada perkembangan di berbagai daerah, secara umum penghayat di
Jawa Tengah mengalami penyusutan. Dari hasil pemantauan sejak bulan
Agustus yang lalu, ditemukan fakta bahwa penyusutan penghayat di Jawa
Tengah tidak dapat dilepaskan dari diskriminasi yang masih dirasakan
sampai saat ini, meliputi permasalahan ragulasi, diskriminasi pelayanan
publik, pemenuhan hak asasi manusia dan pembiaran terhadap tindakan
intoleransi.
Permasalahan regulasi yang dimaksud adalah diskriminasi sebagaimana
terdapat dalam undang-undang No.1 PNPS tahun 1965. Regulasi ini secara
langsung mengancam eksistensi penghayat dengan dicantumkannya delik
penodaan agama. Ketika Negara hanya melindungi Agama, sesungguhnya telah
melakukan ketidakadilan terhadap pengahayat kepercayaan. Akibatnya,
penghayat kepercayaan sering menjadi objek dari pemberlakuan
undang-undang ini.
Selain undang-undang, Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif
ikut mengikis eksistensi generasi penerus penghayat di Jawa Tengah.
Sebagai contoh Perda tentang Baca Tulis al Quran (BTQ) di Kota Tegal,
dimana seluruh siswa setingkat SD dan SMP tanpa terkecuali diwajibkan
mengikut pelajaran tersebut. Bagi siswa penghayat kepercayaan, hal itu
jelas bisa menghilangkan kesadaran tentang identitas personal maupun
spiritualnya.
Selain masalah undang-undang yang bermuatan diskriminatif, penghayat
harus menerima undang-undang
yang sekan-akan mengakomodir kepentingan
penghayat, akan tetapi faktanya undang-undang tersebut tidak dapat
diimplementasikan. Sebagai contoh UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional yang mengatur kebebasan siswa untuk mendapatkan
pengajaran agama sesuai dengan keyakinan. Undang-undang tersebut tidak
dapat diimplementasikan, karena aturan yang mengatur implementasinya
dikembalikan kepada PP Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan
Pendidikan Keagamaan. Alhasil, siswa dari penghayat tetap tidak
mendapatkan pengajaran kepenghayatan di sekolah.
Masalah regulasi dia atas, ternyata berkaitan erat dengan diskriminsi
pemenuhan hak asasi manusia bagi penghayat. Sebagai contoh kasus
penolakan sekolah bagi siswa penghayat yang menimpa Warga Samin di
daerah Undaan Kudus. Dalam hal ini, negara dengan jelas telah melakukan
diskriminasi atas dasar keyakinan, sehingga hak anak untuk mendapatkan
pendidikan tidak terpenuhi.
Selain masalah regulasi, diskriminasi pelayan publik bagi penghyat
masih terjadi di Jawa Tengah. Diskriminasi tersebut meliputi pelayanan
KTP, pernikahan, pemakaman, pendirian tempat ibadah dan pemberian
bantuan. Untuk permasalahan KTP, hampir seluruh penghayat merasakan
kesulitan dalam mengurusinya. Di beberapa daerah yang menjadi objek
investigasi, ditemukan bukti bahwa penyelengara pembuatan KTP tidak
mengetahui regulasi yang berkaitan dengan pencantuman (-) dalam kolom
agama bagi penghayat. Sehingga banyak penghayat yang terpaksa
mencantumkan salah satu agama agar terlepas dari kesulitan.
Terakhir berkaitan dengan masalah pembiaran terhadap tindakan
intoleransi. Wujudnya adalah absennya negara dalam berbagai tindakan
intoleransi oleh mayoritas yang berujung konflik. Khusus yang berkaitan
dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan, tidak jarang setelah korban
berjatuhan Negara baru hadir sebagai pemadam kebakaran. Padahal, dengan
perlengkapan instrumen yang memadai, Negara bisa mengantisipasi
potensi-potensi konflik tersebut sedari awal.
Dari berbagai tindakan diskriminasi di atas, jelas Negara telah
melanggar hak asasi manusia. Negara tidak mengindahkan instrument HAM
internasional yang telah diratifikasinya. Sangat terlihat, bahwa tujuan
ratifikasi hanya untuk kepentingan pencitraan dunia internasional,
sehingga Negara inkonsisten dalam menegakan hukum dan keadilan bagi
warganya sendiri.
Sehubungan dengan masalah diskriminasi bagi penghayat, instrumen HAM
yang tepat untuk menegur Negara diantaranya adalah dengan Deklarasi
Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan Diskriminasi Berdasarkan Agama
atau Kepercayaan (diumumkan oleh Resolusi Sidang Perserikatan
Bangsa-Bangsa No. 36/55 pada tanggal 25 Nopember 1981). Pasal 1
deklarasi ini berbunyi “Tidak seorangpun boleh menjadi sasaran
diskriminasi oleh Negara, lembaga, kelompok, atau individu atas dasar
agama atau kepercayaan.”
Adapun yang dimaksud dari intoleransi dan diskriminasi berdasarkan
agama atau kepercayaan dalam deklarasi di atas adalah: setiap perbedaan,
pengecualian pembatasan atau preferensi berdasarkan agama atau
kerpercayaan yang mempunyai tujuan atau membawa akibat hilangnya atau
rusaknya pengakuan, penikmatan atau pelaksanaan hak asasi dan kebebasan
atas dasar yang setara.
Hal terakhir yang perlu dilakukan oleh Negara kaitannya dengan
eksistensi penghayat adalah sebagaimana tercantum dalam Kovenan untuk
Perlindungan Minoritas (1995) Pasal 5 yang berbunyi “Pihak-pihak
berusaha meningkatkan kondisi yang penting untuk orang yang termasuk
dalam minoritas nasional untuk mempertahankan dan mengembangkan budaya
mereka, dan untuk memelihara unsur-unsur identitas mereka, yaitu agama,
bahasa, tradisi, dan warisan budaya mereka.”
Kedepannya, diharapkan Negara menyadari kekeliruan yang selama ini
dilakukan. Indonesia adalah Negara hukum yang berlandaskan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, sehingga semua warga Negara mempunyai hak dan
kewajiban yang sama terhadap negara tanpa terkecuali. Dengan begitu,
diskriminasi dalam bentuk apapun terhadap warga negara merupakan
tindakan yang bertentangan dengan konstitusi.
sumber : elsaonline.com
Salam Hangat, selamat pagi.
BalasHapusSuka Main Poker Uang Asli Tetapi Kalah Terus?
Ayo Gabung Bersama Kami Di Wayangpoker
MENANG maupun KALAH Tetap mendapatkan Bonus Setiap Hari
Wayangpoker Situs terpercaya yang sudah lama berada diantara kita semua.
Minimal DEPOSIT CUKUP DENGAN Rp,20.000
Minimal WITHDRAW CUMA Rp.40.000
BBM : 2BE326CC
WWW WAYANGPOKER COM