Kisah Kepemimpinan
Sebuah wejangan kuno dari
perwayangan. Konon menurut cerita, ketika Raja Sri Rama meninggal, tersebar
kabar, bahwa mahkota beliau yang memiliki 8 permata telah hilang. Semua orang
jadi sibuk mencari, termasuk Raden Arjuna. Dan dalam pencarian yang sia-sia,
akhirnya Arjuna memberanikan dirinya bertanya kepada Sri Krisna, agar diberikan
wangsit untuk kemana mencarinya. Sang Sri Bathara Krisna lalu tertawa, dan
menjelaskan bahwa 8 permata itu cuma simbol belaka. 8 permata itu disebut HASTA
BRATA, yaitu hasta = delapan dan brata = langkah . HASTA BRATA, merupakan 8
langkah bagaimana seorang pemimpin harus bertindak. HASTA BRATA terdiri dari 8
simbol alam yang menyiratkan 8 prinsip kepemimpinan :
1.
Surya atau matahari. Matahari adalah sumber kehidupan
di bumi. Seorang pemimpin harus menjadi titik api yang sama. Dialah sumber
inspirasi, semangat dan motivasi bagi para pengikutnya. Sang pemimpin juga
harus selalu adil. Seperti matahari yang menerangi semua orang tidak peduli
kaya atau miskin. Semuanya diperlakukan adil dan sama rata, tanpa diskriminasi.
2.
Chandra atau bulan. Seorang pemimpin yang diteladani,
justru disaat krisis dan masa-masa sulit harus bisa menjadi bulan. Yaitu
pemimpin yang mampu memberikan pencerahan di kala gelap, memberi petunjuk dan
arah untuk keluar dari kemelut, memberi solusi pada setiap permasalahan dan
bila perlu menjadi orang yang mendamaikan konflik.
3.
Kartika atau bintang. Bintang adalah simbol yang maha
kuasa dan maha pencipta. Dari-Nya-lah kita semua berawal dan kepada Dia pula
kita berpulang. Seorang pemimpin harus tahu dimana dia berdiri, dan tidak boleh
merasa ditinggikan dan setara dengan Tuhan. Walaupun demekian, ia harus tetap
menjadi bintang teladan dan panutan.
4.
Bumi. Ini adalah simbol kesabaran dan kesuburan. Bumi
menawarkan kesejahteraan bagi seluruh mahkluk hidup yang ada di atasnya. Hanya
mereka-mereka yang sabar akan bertahan hingga akhir. Biarlah orang lain
memperlihatkan sifat-sifat jahat mereka. Tetapi seorang pemimpin yang selalu
sabar akan mampu menghadapi segala tantangan apapun juga bentuknya. Seorang
pemimpin yang membumi, selalu tegas, konsisten, tak tergoyahkan tetapi tetap
sederhana.
5.
Geni atau api. Api adalah simbol hati-hati, dan penuh
perhitungan. Seorang pemimpin harus tegas, dan tidak boleh plin- plan. Hal ini
bisa dicapai kalau beliau secara teliti, hati-hati dan penuh perhitungan,
mengkalkulasi setiap keputusan yang diambil. Sehingga keputusan itu akan tampil
mantap dan bijaksana.
6.
Banyu atau air. Tanpa air yang murni dan bersih,
tanaman tidak akan tumbuh subur. Seorang pemimpin yang bijak harus bisa menjadi
air, memberikan inspirasi kepada semua orang yang ia pimpin dan memperjuangkan
semua aspirasi pengikut dan pendukungnya.
7.
Maruto atau angin. Inilah simbol demokrasi. Seorang
pemipin harus mampu menembus semua celah tatanan masyarakat. Bagaikan angin, ia
mampu berhembus kemana saja, dan bergaul dengan siapa saja. Mulai dari
pengemis, hingga pangeran. Mau merendahkan diri dimana saja dan kepada siapa
saja. Belajar dari mereka dan menyebarkan ilmu kemana- mana.
8.
Samudra atau laut lepas. Semua sumber air dan sungai
akan berakhir di samudra luas. Artinya seorang pemimpin yang menganut HASTA
BRATA, harus menjadi muara bagi semua pengikut dan pemimpinnya. Mengayomi
mereka semua dan satu kesatuan. Disinilah samudra juga menjadi simbol
kreatifitas dari seorang pemimpin dalam memberdayakan semua pengikutnya. Hanya
dengan pemberdayaan yang pas, mereka akan menjadi ombak yang perkasa.
Watak Surya atau srengenge (matahari) ; sareh
sabareng karsa, rereh ririh ing pangarah.
Watak Candra atau rembulan (Bulan ); noraga met prana, sareh sumeh ing netya, alusing budi jatmika, prabawa sreping bawana.
Watak Candra atau rembulan (Bulan ); noraga met prana, sareh sumeh ing netya, alusing budi jatmika, prabawa sreping bawana.
Watak Sudama atau lintang (Bintang); lana susila
santosa, pengkuh lan kengguh andriya. Nora lerenging ngubaya, datan lemeren ing
karsa. Pitayan tan samudana, setya tuhu ing wacana, asring umasung wasita.
Sabda pandhita ratu tan kena wola wali.
Watak Maruta atau angin (Udara yang bergerak);
teliti setiti ngati-ati, dhemen amariksa tumindake punggawa kanthi cara alus.
Watak Mendhung atau mendhung (Awan hujan); bener
sajroning paring ganjaran, jejeg lan adil paring paukuman.
Watak Dahana atau geni atau latu (Api); dhemen
reresik regeding bawana, kang arungkut kababadan, kang apateng pinadhangan.
Watak Tirta atau banyu atau samodra (Air); tansah
paring pangapura, adil paramarta. Basa angenaki krama tumraping kawula.
Watak pratala atau bumi atau lemah (Tanah);
tansah adedana lan karem paring bebungah marang kawula.
Makna Hasta Brata atau delapan watak alam
tersebut secara mudah dapat diartikan sebagai berikut :
Watak Matahari: mempunyai sifat panas, penuh
energi dan pemberi daya hidup. Artinya, setiap umat terlebih-lebih tokoh atau
pimpinan tak terkecuali tokoh agama, harus dapat berfungsi laksana matahari,
yaitu dapat memberi bantuan kepada mereka yang membutuhkan atau kepada anak
buah yang dipimpinnya.
Watak Bulan: mempunyai wujud indah dan menerangi
dalam kegelapan. Artinya, kita harus dapat berfungsi laksana bulan yaitu dapat
menyenangkan dan memberi terang dalam kegelapan bagi mereka yang membutuhkan.
Watak Bintang: mempunyai bentuk yang indah dan
menjadi hiasan diwaktu malam yang sunyi serta mempunyai sifat menjadi kompas
pedoman bagi mereka yang kehilangan arah. Artinya, kita harus dapat berfungsi
laksana bintang yaitu bertaqwa dan dapat menjadi contoh tauladan serta dapat
menjadi pedoman (panutan) bagi anak buahnya, dapat menjadi kompas (petunjuk
arah) bagi mereka yang membutuhkan.
Watak Angin: mempunyai sifat mengisi setiap
ruangan yang kosong walaupun tempat rumit sekalipun. Artinya, kita harus dapat
berfungsi laksana angin yaitu dapat melakukan tindakan yang teliti, cermat, mau
ber-incoqnito atau turun ke lapangan untuk menyelami kehidupan masyarakat
bawah.
Watak Mendung: mempunyai sifat menakutkan
(wibawa) tetapi sesudah menjadi air (hujan) dapat menghidupkan segala yang
tumbuh. Artinya, kita harus dapat berfungsi laksana mendung, yaitu berwibawa
tetapi dalam tindakannya harus dapat memberi manfaat bagi sesamanya.
Watak Api: mempunyai sifat tegak dan sanggup
membakar apa saja yang bersentuhan dengannya. Artinya,kita harus dapat
berfungsi laksana api, yaitu dapat bertindak tegas, adil, mempunyai prinsip tanpa
pandang bulu.
Watak Samudra: mempunyai sifat luas, rata,
berbobot. Artinya, kita harus dapat berfungsi laksana samudra, yaitu mempunyai
pandangan yang luas, rata dan sanggup menerima persoalan apapun dan tidak boleh
membenci terhadap sesama.
Watak Bumi: mempunyai sifat sentosa dan suci.
Artinya, kita harus dapat berfungsi laksana bumi, yaitu sentosa budinya dan
jujur serta mau memberi anugerah kepada siapa saja yang telah berjasa terhadap
tanah air dan bangsa.
Piwulang hasthabrata dalam pedhalangan terdapat
dalam lakon Wahyu Makutharama, diajarkan oleh Begawan Kesawasidi (Prabu Kresna)
kepada Raden Arjuna, sebagai berikut :
“ … kapisan bambege surya, tegese sareh ing
karsa, derenging pangolah nora daya-daya kasembadan kang sinedya. Prabawane
maweh uriping sagung dumadi, samubarang kang kena soroting Hyang Surya nora
daya-daya garing. Lakune ngarah-arah, patrape ngirih-irih, pamrihe lamun sarwa
sareh nora rekasa denira misesa, ananging uga dadya sarana karaharjaning sagung
dumadi.
Kapindho hambege candra yaiku rembulan, tegese
tansah amadhangi madyaning pepeteng, sunare hangengsemake, lakune bisa amet
prana sumehing netya alusing budi anawuraken raras rum sumarambah marang
saisining bawana.
Katelu hambeging kartika, tegese tansah dadya
pepasrening ngantariksa madyaning ratri. Lakune dadya panengeraning mangsa
kala, patrape santosa pengkuh nora kengguhan, puguh ing karsa pitaya tanpa
samudana, wekasan dadya pandam pandom keblating sagung dumadi.
Kaping pate hameging hima, tegese hanindakake
dana wesi asat; adil tumuruning riris, kang akarya subur ngrembakaning tanem
tuwuh. Wesi asat tegese lamun wus kurda midana ing guntur wasesa, gebyaring
lidhah sayekti minangka pratandha; bilih lamun ala antuk pidana, yen becik
antuk nugraha.
Kalima ambeging maruta, werdine tansah sumarambah
nyrambahi sagung gumelar; lakune titi kang paniti priksa patrape hangrawuhi
sakabehing kahanan, ala becik kabeh winengku ing maruta.
Kaping nem hambeging dahana, lire pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara, nora mawas sanak kadang pawong mitra, anane muhung anjejegaken trusing kukuming nagara.
Kasapta hambeging samodra, tegese jembar momot myang kamot, ala becik kabeh kamot ing samodra; parandene nora nana kang anabet. Sa-isene maneka warna, sayekti dadya pikukuh hamimbuhi santosa.
Kaping nem hambeging dahana, lire pakartine bisa ambrastha sagung dur angkara, nora mawas sanak kadang pawong mitra, anane muhung anjejegaken trusing kukuming nagara.
Kasapta hambeging samodra, tegese jembar momot myang kamot, ala becik kabeh kamot ing samodra; parandene nora nana kang anabet. Sa-isene maneka warna, sayekti dadya pikukuh hamimbuhi santosa.
Kaping wolu hambeging bantala, werdine ila legawa
ing driya; mulus agewang hambege para wadul. Danane hanggeganjar myang kawula
kang labuh myang hanggulawenthah.
Setiap pemimpin yang tidak mampu melaksanakan
Hasta Brata bagai raja tanpa mahkota. Tetapi sebaliknya, rakyat jelata yang
dalam hidupnya mampu melaksanakan Hasta Brata, berarti ia adalah rakyat jelatan
yang bermahkota, ialah manusia yang luhur budi pekertinya.
BERGURU PADA ORANG BODOH
Orang-orang zaman dulu seringkali dianggap orang bodoh, cubluk, kekolotan,
tidak canggih, tradisionil, serta udik. Penilaian subyektif hanya berdasarkan
penglihatan mata wadag dan hanya bersadarkan dari omongan ke omongan orang yang
sama-sama tidak menilai secara subyektif. Asumsi di atas merupakan hak setiap
orang melakukan penilaian. Namun perlu lebih hati-hati dalam melakukan
penilaian, sebab jika yang salah kaprah akan menjadi sia-sia bahkan merugikan
diri sendiri. Pada saat banyak orang ramai-ramai memberikan asumsi negatif akan
tradisi kuno, saat itu pula kami mencoba berfikir positif, dan bertanya-tanya
mengapa penilaian negatif itu muncul. Bagaimana seandainya saya ada di pihak
yang dinilai negatif.
Leluhur bangsa di masa lalu sejak 2500 tahun SM telah melakukan kegiatan
spiritual. Perjalanan spiritualnya semakin berkembang seiring perjalanan waktu
ke waktu. Pada intinya, leluhur masa lalu sangat menganjurkan agar manusia
mengamati tanda-tanda kebesaran Tuhan dengan mencermati alam semesta. Hal ini
menimbulkan apa yang disebut sebagai “ngelmu titen”. Ilmu untuk
mencermati segenap tanda-tanda alam sebagai wujud bahasa dan kalimat Tuhan yang
tak tertulis. Ngelmu titen diperoleh setelah seseorang rajin mencermati dan membaca
tanda-tanda alam. Dengan melakukan semadi di gunung, laut, tempat-tempat sepi.
Bukan saja mata wadag yang akan menyaksikan keagungan Tuhan, lebih dari itu,
mata batin akan turut menjadi saksi kebesaran Tuhan yang lebih dahsyat lagi,
setelah merasakan getaran energi alam, atau daya magis (metafisik) di balik
semua unsur-unsur bumi dalam Hasta Brata.
Singkat kata, dengan melakukan perenungan-perenungan, semedi, penghayatan
di tempat-tempat tertentu, yang sunyi, indah dan menakjubkan akhirnya dapat menggugah
getaran jiwa, dengan membuka kesadaran batin kita sehingga dapat menciptakan
harmonisasi atau sinergi antara energi yang ada dalam “jagad kecil” (diri
manusia) dengan “jagad besar” (alam semesta). Bila keselarasan tersebut
telah tercipta maka akan membuka pemahaman akan “jati diri Tuhan”, sehingga
muncul daya kekuatan “gaib” yang mendorong kita untuk semakin dekat kepada
Tuhan. Berkaitan dengan ilmu Hasta Brata, manusia Jawa masa lampau, memiliki
ilmu kepemimpinan yang secara kualitas lebih baik dan lebih canggih daripada
pemimpin zaman modern saat ini. Dalam artian kemampuannya untuk merumuskan
setiap fenomena yang terjadi dan mendiagnosa setiap permasalahan secara tepat,
kemudian membuat rencana problem solving kemudian melakukan
manuver-manuver yang bersifat konkrit. Meliputi berbagai bidang kehidupan,
sosial, politik, ekonomi, hukum. Bidang-bidang kehidupan dapat dideskripsikan
secara cermat dan tepat sehingga tidak melakukan kesalahan dalam membuat suatu
kebijakan. Pemimpin zaman dulu, memperoleh legitimasi dan kelanggengan
kekuasaannya bukan saja karena alur genealogis atau faktor keturunan, lebih
penting dari itu kelanggengan kepemimpinan atas dasar sistem kepemimpinan yang
bijaksana, adil, dan benar-benar mensejahterakan rakyatnya, sehingga kekuasaannya
bertumpu pada power of law kekuasaan dengan legitimasi hukum formal dan
pengakuan dari rakyat. Lain halnya dengan kebanyakan pola kepemimpinan zaman
sekarang, yang disibukkan manuver-manuver politik mempertahankan kekuasaan,
bukan konsentrasi mensejahterakan masyarakat. Sehingga legitimasi politiknya
terbalik menjadi law of the power, ia menciptakan “hukum” demi
mempertahankan kekuasaannya. Kelemahan paling besar pemimpin zaman sekarang
adalah kurang mampu berkomunikasi dengan bahasa alam yang mengisyaratkan
pesan-pesan penting dan gaib, apa yang harus dilakukan saat ini dan masa
mendatang. Mungkinkah para pemimpin terlalu meremehkan bahasa alam ? Sementara
Tuhan mengirimkan isyaratNya melalui bahasa alam itu. Maka terjadilah deadlock,
yakni kemacetan komunikasi antara manusia dengan Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar